Kita takkan pernah bisa membersihkan apalagi menyadarkan hati dan pikiran orang-orang apalagi umat manusia yang lintas agama, lintas bangsa, lintas benua, sebelum hati jiwa kita sendiri bersih dari ego/nafsu grusak-grusuk. Orang yang hati jiwanya sudah bersih dari ego, maka kata-katanya santun, lembut, adem, tidak kasar, tidak sarkatis, tidak sinis, tapi tetap tegas dan bijaksana. Tidak suka memprovokasi atau memperkeruh suasana dengan emosi-emosi kekanak-kanakan dan meledak-ledak (apalagi jika usia sudah separuh baya, masih menjabat atau pernah menjabat, harusnya bisa mengendalikan emosi dan bukan asal bicara), tahu etika, tahu adab. Nah, tingkatan terendah untuk membersihkan hati jiwa kita dari ego dan nafsu adalah dimulai SEKARANG JUGA dengan bersikap, berkata, menanggapi segala hal dengan Tawadhu’ alias Kerendahan Hati.
Kerendahan Hati yang paling hakiki dimulai dari kesadaran kita selalu untuk menyadari bahwa: Betapa pun baiknya, salehnya, berilmunya kita, kita tetap saja buruk, banyak dosa, dan bodoh di hadirat-NYA Yang Mahabaik, Mahakudus, Mahasempurna, Mahatahu. Dan jangankan dibandingkan-Nya dari sisi para Nabi pun, kita masih buruk, banyak dosa, dan bodoh. Dan jangankan dibandingkan para nabi Allah, dibandingkan orang-orang baik, manusia biasa seperti Mahatma Gandhi dan Paus Johannes Paulus II, kita pun masih kalah berhati mulia dan masih kalah sosial dan bermanfaat bagi orang banyak. Orang-orang kalau muji saya, saya selalu bilang Alhamdulillah, puji Tuhan atau Thanks God sambil dalam batin berkata: “Yos kamu buruk-kotor, andaipun ada kebaikan itu semua dari Allah!”
Rendah hati tidak sama/berbeda dengan rendah diri. Orang yang rendah diri tidak berani untuk menunjukkan bakat ataupun kemampuannya. Sebaliknya orang yang RENDAH HATI selalu berani untuk menunjukkan bakat ataupun kemampuannya demi kemaslahatan umat manusia tapi TIDAK PERNAH menyombongkan bakat atau kemampuannya itu. Orang yang rendah diri bisa jadi bulanan-bulanan orang-orang yang arogan dan dicuekin orang-orang yang ja’im. Beda dengan orang yang RENDAH HATI dapat melembutkan hati orang-orang yang arogan dan menyadarkan orang-orang yang ja’im dengan izin Allah.
Kemudian manusia itu susah untuk selalu hidup LURUS-JUJUR karena belum TULUS CINTA-nya kepada ALLAH semata. Dan manusia susah untuk benar-benar TULUS CINTA ALLAH karena masih terikat dalam hatinya dengan “tuhan-tuhan” (berhala-berhala duniawi) dan “hal-hal apapun lainnya di luar Allah”. Hanya ketika manusia sudah mencapai level ZUHUD alias hatinya tidak terikat dengan apapun kecuali terikat kepada ALLAH semata, maka ia baru bisa benar-benar TULUS CINTA ALLAH semata dan karenanya akan mudah untuk hidup LURUS-JUJUR di mana pun dan kapan saja. Dengan kata lain Puncak RENDAH HATI adalah (hidup) LURUS, Puncak LURUS adalah (hidup) TULUS, Puncak TULUS adalah (hidup) ZUHUD, dan Puncak ZUHUD adalah (hidup) FANA FILLAH.
Cepat tidaknya seseorang mencapai FANA FILLAH tergantung dari himmah (tekad spiritual kebatinan) pribadi masing-masing. Orang yang memiliki himmah yang kuat, tidak akan mengomentari apalagi menggosipkan keburukan-keburukan orang-orang lain, pihak-pihak lain dan/atau umat-umat agama lainnya, sebelum hati-jiwanya sendiri terus sibuk berjuang untuk terbebas dari ego, letupan-letupan emosi ketidaksabaran dan hawa-hawa nafsu kotor-rendah duniawi pribadi yang tercermin dari kata-kata/ucapan-ucapan/tulisan-tulisannya yang selalu kian lembut, halus, santun, mendamaikan, mencerahkan, tidak kasar, tidak sarkatis, tidak sinis, adem, bijaksana dan merangkul empati-simpati manusia-manusia lintas agama, lintas bangsa agar mau berubah menjadi manusia-manusia yang alim-saleh sesuai keyakinan agama masing-masing.
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan RENDAH HATI dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka membalas/menanggapi dengan mengucapkan kata-kata (yang mengandung do’a) keselamatan.”
( QS. Al-Furqaan, ayat ke-63 )